Tim Kemanusiaan Nduga menyebut konflik Nduga yang ditangani TNI dan Polri telah mengakibatkan 182 orang tewas, dua orang disandera TNI, dan perempuan ditembak mati. Namun pihak TNI menegaskan pihaknya bekerja sesuai dengan kaidah hak-hak asasi manusia.
Koordinator Tim Kemanusiaan Nduga, Theo Hesegem, saat jumpa pers di kantor Amnesty International, Jakarta, Rabu (14/8/2019), menyebut ada 182 korban jiwa, yang terdiri dari 21 perempuan, 69 laki-laki, 21 anak perempuan, 20 anak laki-laki, 14 balita perempuan, 12 balita laki-laki, 8 bayi laki-laki, dan 17 bayi perempuan.
Dua orang disebut Tim Kemanusiaan Nduga disandera di Pos TNI Distrik Mugi. Salah satu yang disandera disebut merupakan anak kecil usia setahun bernama Raina Nirigi. Anak tersebut disandera pasukan TNI di Pos Mugi saat ibunya mencari ubi di kebun dan tiba-tiba anggota TNI menembak sang ibu.
TNI menyebut semua keterangan Tim Kemanusiaan Nduga sebagai propaganda yang bertujuan melepaskan Papua dari NKRI. TNI menegaskan pihaknya tak pernah membunuh orang tak bersalah, menembaki ibu-ibu, atau menyandera anak kecil.
“Tidak pernah TNI melakukan itu. Tidak akan,” kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sisriadi memberikan klarifikasi, Rabu (14/8).
TNI berada di Nduga bukan dalam rangka perang, melainkan membantu Polri dalam penegakan hukum, yakni mengejar kelompok kriminal bersenjata. TNI juga turut melancarkan pembangunan fasilitas perhubungan di Nduga.
Dalam menangani KKB, TNI tidak sembarangan menembak orang. Tentu ibu-ibu dan bayi tidak ditembak seperti yang disampaikan Tim Kemanusiaan Nduga. Soalnya, kata Sisriadi, TNI mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
“Boro-boro ibunya. Kita punya namanya rules of engagement atau aturan pelibatan. Itu aturan hukum humaniter yang kita pegang. Jadi tidak mungkin kita menembaki orang sipil, karena kita tahu itu melanggar HAM. Prajurit kita pegang buku di kantongnya. Tidak mungkin kita melakukan hal itu,” tutur Sisriadi.
Lalu, bagaimana cara TNI menghadapi KKB? TNI dinyatakannya tidak sembarangan bertindak.
“Kita melakukan operasi dengan sasaran terpilih karena kita tidak ‘gebyah uyah’ (menggeneralisir). Kita benar-benar patuh HAM. Jadi kalaupun kita menembak, yang kita tembak adalah benar-benar orang yang bersenjata dan melakukan perlawanan,” kata Sisriadi.
TNI paham kelompok pendukung separatis ingin TNI pergi dari Papua. Namun itu tidak akan dituruti. Hal ini sudah dipahami pemerintah sejak dulu dalam menangani kelompok kriminal bersenjata (KKB).
“Mereka minta TNI pergi. Sekali TNI keluar satu langkah dari Papua, maka merdeka dia. Sejak era Bu Megawati presiden sudah ngomong begitu, ‘Sekali saya narik TNI satu langkah, Papua jadi negara sendiri dia.’ Jadi permintaan mereka tidak perlu ditanggapi,” kata Sisriadi.
Tim Kemanusiaan Nduga meminta pemerintah membuka Papua untuk jurnalis. TNI menyatakan pihaknya tak melarang jurnalis mengetahui kondisi Papua. TNI juga akan memberi penjelasan bila jurnalis bertanya. Namun untuk Nduga, kondisinya sedang tidak aman, termasuk untuk keselamatan jiwa jurnalis.
Tim Kemanusiaan Nduga menilai Indonesia perlu membuka pintu kepada tim investigasi HAM supaya bisa memeriksa Papua. Menurut TNI, permintaan itu seolah menuduh bahwa TNI melakukan pelanggaran HAM.
“Itu tidak ada kaitannya. Kalau itu kita melarang. Kalau wartawan kita undang supaya jadi saksi. Mereka menuduh (soal pelanggaran HAM oleh TNI), tidak ada buktinya, buktinya mana? Yang sudah jelas melanggar HAM itu yang membunuhi orang Istaka Karya yang dipotong lehernya di tengah jalan itu kan. Itu jelas pelanggaran HAM yakni membunuh orang yang tidak bersalah,” tutur Sisriadi merujuk pada peristiwa pada Desember 2018, saat pekerja proyek Trans Papua dibantai KKB.
Sumber: Detik
Baju Militer Anak Paling murah https://shope.ee/1AkMGMKChc
Baju Loreng Ala Militer keren https://shope.ee/4V0oF0TRSK